Berbagai laporan yang dikumpulkan Sahabat Al-Aqsha menyebutkan, setiap tahun puluhan petani atau keluarganya ditembak mati syahid oleh tentara-tentara Zionis.
Dengan izin Allah, kami mengunjungi perkebunan di dua titik terjauh di utara dan timur Jalur Gaza: As-Siafah di ujung utara dan Juhrud Dik di ujung timur. Keduanya terletak di garis terdepan yang paling dekat dengan tanah-tanah Palestina yang masih dikuasai Zionis Israel.
Di sebuah peta yang sangat detail (terbit 2009) dari OCHA (badan PBB untuk bantuan kemanusiaan), desa As-Siafah digambarkan sebagai sebuah titik di dalam daerah yang diberi warna ungu. Zona ungu itu berhadapan langsung dengan tembok-tembok perbatasan dan menara-menara pengawas tentara Zionis Israel.
Situasinya benar-benar seperti penjara raksasa. Maaf, bukan ‘seperti’… Memang penjara. Sadarlah kita bahwa seluruh penduduk Gaza yang berjumlah 1,7 juta jiwa sedang dipenjara, dan penjara itu diakui keberadaannya oleh Persatuan Bangsa-bangsa.
Warna ungu di peta itu diberi penjelasan sebagai berikut:
“Zona Terlarang Gaza Utara:
Meliputi bekas blok pemukiman orang-orang Israel. Pergerakan masuk dan keluar di kawasan ini dilarang sejak 28 Desember 2005. Lebih dari 250 orang Palestina hidup di daerah ini di masyarakat As-Siafa.”
Waktu kami menyatakan ingin berkunjung ke As-Siafah, guna mewawancarai para petani di sana, Abu Adam perwira polisi Palestina, langsung setuju. Dia sendiri akan ikut bersama kami bersama para pengawal. Malah kami yang terkejut. “Benar nih? Tapi itu kan daerah terlarang… Apakah aman?”
Abu Adam tertawa, “Tak ada masalah. Mana ada daerah yang aman di Gaza?! Dengarkan, semua daerah di sini aman dalam perlindungan Allah!!”
Selepas solat zhuhur, minibus yang kami tumpangi bergerak menyusuri jalan tepi pantai, melewati kamp pengungsi Asy-Syati’ yang mengadap ke laut Mediterania.
Semakin ke utara, jalanan semakin rusak. Lama kelamaan tidak tersisa lagi jalanan aspal, hanya pasir. Rumah-rumah semakin jarang. Beberapa bangunan dan rumah yang kami lewati di kanan kiri jalan kebanyakan kosong, berlubang-lubang bekas tembakan senjata api berkaliber besar, atau bahkan groak dan hancur di sebagian besarnya.
“Ini rumah-rumah rakyat biasa yang diserang oleh jet-jet tempur, helikopter, maupun tank-tank Israel waktu Perang Al-Furqan (akhir 2008 sampai awal 2009),” jelas Abu Adam.
Kadang minibus kami bergerak mulus, kadang melambat, lurus, belok, naik jalanan rusak, berzigzag di pasir yang tebal… Setiap orang hampir tidak berbicara.
“Kita sekarang masuk As-Siafah,” kata Abu Adam yang bersama kedua pengawalnya bersenjata.
Ketua Tim Sahabat Al-Aqsha mengingatkan, “Jangan putus dari mengingat Allah ya… Siap-siap menghadapi keadaan terburuk… Bersihkan hati luruskan niat.”
Sesekali kami berpapasan dengan gerobak yang ditarik oleh keledai dikusiri Pak Tani atau anaknya, membawa sayur-mayur, buah, dan karung-karung.
Tak lama kemudian kami memasuki kawasan perkebunan yang subur. Ada pohon-pohon jeruk, bawang, wortel, kentang, tomat, stroberi, gandum… Subhanallah. Semakin jauh kami menyusuri kawasan ini dengan mobil, semakin jarang kami menemui manusia.
Suatu saat, Abu Adam memerintahkan mobil berhenti. Kami turun tepat di hadapan sebuah hamparan pasir yang membukit, lebih tepatnya menggunduk. Di kanan kiri gundukan pasir itu terdapat pagar kawat yang mendaki sampai ke puncaknya. Gundukan pasir itu mirip gurun sahara mungil di tengah perkebunan hijau.
Ditemani salah satu pengawal, Tim Sahabat Al-Aqsha berjalan ke puncak gundukan itu. Subhanallah, pemandangan di atas gundukan pasir itu sungguh indah, sekaligus mengesalkan. Hamparan kebun yang hijau subur itu dihantam oleh bentangan tembok beton berwarna abu-abu yang kelam. Itulah kuku-kuku penjajah.
Di beberapa tempat terdapat menara pengawas. Ada yang berkilat-kilat dari arah menara itu. “Kita jangan lama-lama di sini, tempat ini cukup berbahaya,” kata Abu Ismail, pengawal yang murah senyum.
Pada titik yang lebih jauh lagi nampak dua cerobong asap raksasa pembangkit listrik tenaga batu bara di dekat pelabuhan Ashdod. Lebih jauh lagi nampak juga sebuah kota bernama Ashkelon alias Asqalan, kampung kelahiran Ibnu Hajar Al-Asqalani, ulama hadits terkenal. Sepenuhnya dijajah Zionis Israel.
Tak lama kemudian, Abu Adam menyusul kami ke atas gundukan pasir bersama seorang lelaki yang ramah. Wajahnya keras tapi senyumnya menenangkan hati. Lelaki itu seorang petani penggarap. Namanya Khamis Al-Adham. Ia ditemani dua anaknya, yang diberi nama sama dengan nama dua anak lelaki bekas presiden Iraq Saddam Hussain: Uday dan Qusay.
Khamis bercerita, “Waktu Perang Al-Furqan (2009) tempat ini diserang habis-habisan. Perkebunan dihancurkan. Pohon-pohon mereka tebangi. Sekitar 15 orang mati syahid di sini.”
Sambil berjalan menuruni gundukan pasir, Khamis memungut potongan-potongan besi sebesar dua jari yang sudah berkarat. “Kamu tahu ini apa?” Sahabat Al-Aqsha menggelengkan kepala.
“Ini sisa-sisa pecahan bom yang mereka jatuhkan di kebun-kebun kami! Berton-ton jumlahnya!” teriak Khamis.
Apakah ada perlawanan dari rakyat di tempat ini?
“Sudah tentu ada. Itu kewajiban. Tapi senjata para Mujahidin sangat sederhana. Sedangkan mereka (Zionis Israel) menyerang kami dengan persenjataan raksasa dan mutakhir bikinan Inggris dan Amerika! Bahkan negara-negara Arab, saudara-saudara Muslim kami pun membantu penjajah menyerang kami, dengan menjual bahan bakar minyak kepada Israel dan Amerika!!”
Subhanallah…
Dengarlah teriakan hati petani sederhana di front terdepan Gaza ini. Hati-hatilah dengan pikiran, ucapan, dan tindakan kita. Bukan tidak mungkin, hal yang nampak biasa dalam ucapan dan tindakan kita ternyata justru menolong dan memperkuat penjajah yang sedang menteror dan menzhalimi saudara-saudara kita di Palestina.
Minyak yang dijual sebagai “bisnis biasa” oleh negara-negara Arab kepada Amerika dan Israel dipakai untuk menggerakkan tank, jet tempur, pesawat tanpa awak, dan kapal-kapal laut yang pekerjaan utamanya menteror dan menjajah rakyat Palestina. Astaghfirullah..
Keesokan harinya, kami mengunjungi petani Gaza di front berbahaya lainnya, Juhrud Dik di perbatasan timur. Lagi-lagi tembok kelabu dan menara-menara pengawas memelototi saudara-saudara kita, para petani Palestina.
Kami menjumpai Anwar Al-Shafadi dan kawan-kawan, para petani yang baru saja selesai melakukan solat Ashar di sebuah masjid darurat bernama Al-Murabithun (Para Penjaga).
“Kami memang penjaga garis tanah terdepan Palestina ini,” kata Anwar berkafiyeh merah, dengan suara berat.
Mereka bekerja menggarap kebun-kebun yang 24 jam sehari 7 hari seminggu di bawah pengawasan dan bidikan para penembak-penembak jitu Zionis Israel.
Sejak pengepungan total diberlakukan, bukan saja para petani bekerja di bawah ancaman, penghasilan mereka pun menurun drastis. “Tak ada solar untuk menggerakkan pompa-pompa air, dan mesin-mesin kami,” kata Anwar.
Dari nama marganya dapat diketahui bahwa Anwar keturunan pengungsi Shafad, di Palestina Utara, yang hijrah ke tempat itu sekitar tahun 1948. Dari tanah asalnya mereka memang petani.
“Seingat saya, sudah tiga kali para penjajah itu masuk ke kawasan ini dan menghancurkan semua pohon,” katanya.
“Mereka hancurkan, kami tanam lagi… Mereka hancurkan, kami tanam lagi… Mereka hancurkan, kami tanam lagi… Kalau air sudah tak ada, kami akan mengairi kebun-kebun ini dengan darah kami…!!!” teriak Anwar.
“Bahkan, seandainya tanaman sudah tak mau tumbuh di tempat ini, kami tetap akan bertahan menjaga tanah suci ini… Doakan kami wahai Saudaraku…!!”
Masya Allah. Lidah ini rasanya terlalu kelu untuk menjawab sumpah itu. Bahkan jari-jari ini pun tiba-tiba menjadi kaku untuk menuliskan kata-kata.
Engkau Maha Mendengar ya Rabb…* (Sahabatalaqsha.com)