Jumat, 29 Mei 2015

Sang Reinkarnasi Affandi

Sang Reinkarnasi Affandi
Salah satu rumah di kawasan sejuk, Cipanas, Jawa Barat. Akhir Maret 2014 di musim dingin. Dari luaran, rumah itu terlihat nyaman. Berwarna krem, bertingkat dua, dengan halaman yang cukup luas dengan dihiasi tanaman beraneka macam.
Seorang lelaki duduk berhela santai di lantai dasar rumah itu. Mengenakan kaos oblong putih, celana pendek hitam, dan kaos kaki hitam. Sambil menghisap rokok dengan suguhan teh tubruk di meja tamu. Dia menikmati acara televisi.
Sebelah kanannya, berhamparan cat palet untuk melukis dan bersandar selembar kanvas berukuran besar. Dan tak jauh dari situ, berderet beberapa lukisan yang kelihatan belum jadi. "Sebentar aja tuh lukisan kelar," kata Rosar.
Rosar adalah seorang seniman lukis. Dikenal dengan aliran mirip-mirip maestro pelukis Indonesia, Affandi, yakni ekspresionisme. "Affandi belajar dari ayah saya," ujar Rosar.
Tempat berkarya lukisannya berada di ruang tamu. Di situ ada rak buku bersusun lima yang dimuati buku-buku lukisan para pelukis maestro dunia. Ada Van Gogh, Affandi, Wu Guangzhong, Walter Spies, dan lainnya.
Dia bangkit dan menemani saya ke ruangan sebelah. Di sini bertumpuk lukisan yang sudah jadi. Banyak lukisannya yang saya kenali. "Itu bukan lukisan Affandi. Itu saya yang buat," ujar Rosar sebelum saya bertanya.
Keluarga dan Karir
Nama Rosar adalah singkatan dari Robedi Basar. Dalam dunia lukisan, tandatangan kanvasnya tertulis B Rosar alias Bagus Rosar. Yang kenal dengannya, menyapa Kiai. Maklum, sudah tidak muda lagi, dia kelahiran Garut, Jawa Barat pada 10 Januari 1946.
Nama tambahan Bagus disematkan sejak tahun 1994 saat sukses lelang lukisan di Hotel Indonesia Jakarta. "Menteri Peranan Wanita saat itu, Mien Sugandi, bilang pakai tambahan nama Bagus. Tapi saya lebih senang menyingkat B saja. Jadi B Rosar," ujarnya.
Basar adalah nama ayahnya. Lengkapnya Basar Ijonnoti, kelahiran tahun 1902. Rosar anak pertama dari istri kedua Basar bernama Nyimas Siti Raden Suji'ah. Basar adalah pelukis kondang Indonesia yang terkenal bergaya naturalis dinamis. Karyanya masuk hampir di semua balai lelang, seperti Master Piece, Larasati, Borobudur, Sidharta, dan lainnya.
Nama Basar juga masuk dalam literatur buku seni rupa di Belanda. Karya-karya beliau dikoleksi oleh para tokoh penting di dalam dan luar negeri. Lukisan karya Basar termasuk yang diburu para kolektor, baik di pameran lukisan atau di balai lelang. Basar meninggal tahun 1992 dimakamkan di Garut, Jawa Barat.
Sejak kecil, Rosar sudah mengenal lukisan dari ayahnya. Rosar tidak langsung memegang kuas yang langsung dioret ke kanvas. Dia hanya menjadi tukang suruh Basar. Dari tukang ambil cat, pasang kanvas, sampai disuruh membersihkan tumpahan cat minyak.
Rosar ingat betul, saat teman ayahnya bertanya kepada Basar, "Kok anakmu tidak diajarin langsung melukis," ujar teman Basar di hadapan Rosar yang duduknya berada di belakang ayahnya.
"Biarkan anak ini tahu dulu kerasnya menjadi seorang pelukis. Tidak langsung enaknya," jawab Basar bernada ketus sambil melihat wajah Rosar saat itu. Rosar yang mendengar jawaban itu terdiam.
Rosar tidak menyerah. Saat ayahnya melukis, Rosar amati caranya. Dari membantu Basar, Rosar mendapat upah cat bekas tumpahan. "Yang lebih sedih lagi, minta direspons lukisan saya, ternyata sama bapak malah langsung dicoret-coret," ujarnya.
Saat Sekolah Rakyat-sekarang Sekolah Dasar- tahun 1952, Rosar diam-diam ikut lomba melukis Hari Anak Sedunia di Bandung, Jawa Barat. Karyanya mendapat juara dari Jawaharla Nehru, Perdana Menteri India saat itu.
Tahun 1970, Rosar memberanikan diri menitipkan lukisan bercorak sket di toko Tatarah Braga, Bandung. Dia tak menduga, lukisannya ternyata banyak diminati. Laku. "Itu kali pertama saya menguangkan lukisan. Wah senang bisa mendapat uang dari karya saya," tuturnya.
Setelah itu, pada 25 September 1972, Rosar coba beranikan diri ikut pasar seni yang diadakan Institut Teknologi Bandung (ITB). Dia adalah peserta yang berstatus non-akademis. Padahal diajang itu, banyak nama-nama pelukis kondang Indonesia. Seperti Ahmad Sadeli, Mochtar Apin, But Muhtar, Firous, dan Chan Tandjung
"Tidak sangka, lukisan saya cukup banyak diminati dan menempati jajaran ke-6 pelukis senior saat itu, yang dari sekian banyak pelukis Indonesia pada ajang itu," tutur Rosar.
Tahun 1974, Rosar izin pada Ayahnya untuk berkiprah di Jakarta. Bukan dapat dukungan, malah kena semprot dan cercaan. "Memangnya lukisan kamu sudah hebat!," tutur Rosar mengingat makian ayahnya.
"Selama berada di Jakarta, jangan kamu sebut-sebut nama Basar di sana. Pakai nama sendiri," kata Basar ketus kepada anaknya sambil memberikan selembar kartu nama.
Rosar nekad. Uang jualan lukisan di Bandung, buat perjalanannya dari Garut ke Jakarta. Era 1970-an, terminal Lapangan Banteng, menjadi terminal bus andalan warga Jakarta.
Sambil menenteng lukisan, Rosar menuju arah Terminal Blok M. "Ternyata baru tahu, di situ banyak galeri lukisan. Ada Bali Arca, Bergas Galeri, Figura Art, Hadi Prana Galery, Sinta Galeri, dan lainnya," tutur Rosar.
Semua galeri menolak karyanya. Sedih. Harapannya hanya Indonesian Art yang belum didatangi. Maklum, uangnya hanya cukup membayar bus dari Blok M ke Lapangan Banteng. Bahkan dirinya sudah tidak memikirkan rasa lapar.
Di pintu masuk Indonesia Art, Rosar mencari pemiliknya. Seorang penjaga galeri itu, dia datangi dan ditawari lukisannya. Orang itu langsung menolaknya saat melihat lukisannya. "Lukisannya nggak ada yang bagus. Sana pergi," katanya seperti ditirukan oleh Rosar. Dia diusirnya.
Belakangan Rosar baru tahu, orang itu bernama Topo. Di Indonesia Art, ia adalah asisten Sukman, pemilik galeri itu. Karena ini adalah galeri terakhir harapannya. Rosar akhirnya melanggar titah bapaknya untuk tidak menyebut namanya. "Saya anaknya Basar," tutur Rosar.
Topo kaget dan sempat tidak percaya. Rosar menunjukkan kartu nama bapaknya. "Kenapa tidak bilang dari tadi," ujar Topo. Rosar terdiam. Sebanyak 18 lukisan yang digulung Rosar, diambilnya dan dia diminta menunggu.
Tak lama kemudian, Topo datang dan memberikan uang untuk semua lukisannya Rp78 ribu. Rosar kaget menerima uang sebanyak itu. Lukisannya ternyata dibeli Sinta Gallery yang sederetan dengan Indonesia Art.
Beberapa lama kemudian, seorang pria parlente menghampiri Topo dan Rosar. "Siapa dia," tanya orang itu. Topo menjawab, "Rosar, anaknya Basar," ujarnya. Orang itu tidak percaya. Rosar langsung memberikan informasi untuk meyakinkan bahwa dirinya adalah anak Basar.
Setelahnya, pria itu baru diketahui Rosar bernama Sukman. Pemilik galeri Indonesia Art dan Nainis Galery. Rosar mendapat tambahan uang Rp125 ribu untuk kembali ke Garut.
Hari itu, Rosar pulang ke Garut. Baru sampai rumahnya, ayahnya langsung mencerca dirinya. "Saya sudah bilang, jangan kamu pakai nama bapak di Jakarta. Kenapa kamu masih jual nama bapak di sana," kata ayahnya menghardik. Rosar tak banyak bicara. Diam. Rosar menduga, Sukman menginformasikan pertemuan dengannya di Jakarta.
Tahun 1976, lukisan Rosar dapat orderan dari tentara Amerika yang sedang berada di Jakarta terkait kerja sama pertahanan. Rombongan Amerika, yakni Kolonel Wilson dan Kolonel Trenuar, membaca koran Indonesia Raya dan ada artikel tentang Rosar.
"Tiga bulan lamanya mereka mencari saya. Dan akhirnya ketemu di Bandung. Ratusan lukisan dipesan untuk dibawa ke Amerika. Orang Amerika ke Indonesia membawa senjata, orang Amerika kembali ke negaranya membawa ratusan lukisan saya," tutur Rosar.
Dari pesanan itu, Rosar pernah diundang ke Kedutaan Amerika bagian militernya di Jakarta. Bahkan pernah ditawari untuk berangkat ke Amerika. "Tapi keluarga tidak mengizinkan," ujarnya.
Kini, lukisan Rosar terpajang rapi di rumah salah seorang kolektor di kawasan perumahan elit Pantai Indah Kapuk (PIK), Jakarta Utara





Menyiasati Mafia Lukisan
Siang di rumah Cipanas itu, Rosar mengamati buku bergambar yang seluruhnya lukisan Affandi, sang maestro seni lukis Indonesia. Rosar mulai ingin melukis. Kanvas berukuran tiga meter bertengger di hadapannya. Dan cat palet mulai tertuang di tatakan kayu sebelah kanan tangannya.
Dia mulai mengayunkan tangannya, sambil memperhatikan buku katalog karya Affandi. Saya hanya mengamati dari belakang. Begitu cepat dia melukis. Hanya 15 menit, sudah terlihat lukisan yang digambarnya, aksi matador. Saya hanya bisa berdecak cara dia melukis.
Selesainya, Rosar memberikan buku katalog lukisan Affandi. Saya melihat katalog dan kemudian menyamai karya Rosar. Inilah yang membuat saya lebih kagum lagi. Lukisan Rosar sempurna persis dengan karya Affandi. Nyaris tidak ada perbedaan sama sekali. Dari sisipan warna, hingga tarikan goresan cat paletnya.
"Pasti ada perbedaan. Saya tidak mungkin mau membuat sepersis Affandi. Tapi saya memang ingin menghidupkan gaya melukis Affandi. Bahkan, saya ingin bisa melebihi karya Affandi," tutur Rosar.
Sejak kapan Rosar menggunakan trik melukis Affandi? "Gaya melukis Affandi tahun 74. Awalnya karena kesal dengan pelukis lainnya. Ketika saya punya gaya melukis berbeda dari seniman lainnya. Gaya saya dijiplak. Bahkan diklaim miliknya," ujar Rosar.
"Kemudian, saya ikuti gaya Affandi. Gaya yang paling sulit diikuti oleh pelukis lainnya di Indonesia. Ternyata terbukti, sampai sekarang tidak ada yang mampu melukis bergaya itu," kata Rosar lagi.
Jadi selama ini banyak beredar lukisan Anda yang diklaim mirip Affandi? Rosar mengiyakan, tapi tidak banyak. "Bahkan ada korektor tenar, sebenarnya itu lukisan saya. Bukan Affandi. Tapi tanda tangan B Rosar dalam kanvas itu diganti AF alias Affandi," tutur Rosar.
Rosar memberitahu perbedaan karya Affandi asli dan karyanya. Rosar mengambil katalog lukisan Affandi untuk membedakannya. "Ini lukisan di belakang korektor itu. Anda pasti kenal orang ini," saya mengiyakan. "Ini lukisan Affandi yang aslinya," Rosar menunjuk katalog asli karya Affandi.
"Yang di belakang korektor itu palsu. Bukan Affandi. Itu lukisan saya. Tandatangan saya dihapus dan diganti tandatangan Affandi," tuturnya. "Saya orang yang paham benar lukisan Affandi yang asli atau palsu. Itu semua mainan mafia. Mereka beli lukisan saya, tapi diganti tandatangannya jadi Affandi," ujar Rosar lagi.
Bahkan ada yang benar-benar bukan Affandi dan itu 100 persen karyanya, Rosar mengatakan, tiba-tiba bertandatangan Affandi, tertera di lukisan. "Para mafia korektor, saya yang banyak tahu kelakukannya," ujarnya sambil menggelengkan kepala.
Rosar membuka kembali lukisan Affandi dan lukisan karyanya. Dia menjelaskan secara detail perbedaan tarikan palet Affandi dan gaya Rosar. "Hanya Anda yang saya berikan informasi soal lukisan Affandi. Supaya nanti Anda berani bilang: lukisan Affandi itu asli atau palsu," ujar Rosar meminta saya merahasiakan informasi perbedaan itu.
"Makanya saya sampai sekarang banyak dikucilkan oleh para seniman dan kolektor. Karena saya dikhawatirkan akan membongkar semua permainan mafia lukisan di Indonesia. Saya tahu persis, siapa di balik semua mafia lukisan di negara ini," tutur Rosar.
"Saya orang yang tidak pernah mau diajak membuat kelompok-kelompok pelukis negara ini. Saya memilih jalan sendiri. Dan syukur, setiap pameran karya saya banyak diminati," kata Rosar lagi.
Dalam karirnya, Rosar sempat tak ada kabarnya sejak tahun 2002. Dia kembali melukis pada 2007 sampai 2011 di Bali. Dan tahun 2012 hingga 2013, sibuk keliling Eropa, melancong ke Inggris, Prancis, Jerman, Belanda, Belgia, dan Italia. Bersama Kementerian Pariwisata dan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaaan, Rosar mempromosikan seni dan budaya Indonesia yang menjadi kebanggaan di mata dunia.
Tahun 2014 ini, Rosar kepada saya mengatakan, dia ingin kembali memperlihatkan diri ke publik. Masih dengan gaya Affandi, tapi dia berjanji akan membuat lebih berbeda dari Affandi. "Bahkan saya bisa lebih bagus lagi dari Affandi. Tunggu tanggal mainnya," tutur Rosar.
Hari sudah larut malam. Saya pamit pulang. Rosar masih ingin melukis. Dia kembali mengingatkan agar merahasiakan perbedaan Affandi dan karya dirinya.
- Source: http://www.katakini.com/berita-sang-reinkarnasi-affandi.html
Lukisan antique & langka karya Old master.. -->  http://t.co/stZPods3bD
http://daerah.sindonews.com/read/713840/23/kakek-70-tahun-jual-lukisan-senilai-3-milyar-1359880081
http://www.embunmulia.com/lukisan-b-rosar/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar