Senin, 31 Mei 2010

SIM Keliling Samsat Keliling

SIM Keliling Samsat Keliling

Apa rasanya seharian menatap-natap benda besar yang satu ini?

Ini semua saya sharing dengan sengaja, sebab memang sesuatu yang istimewa buat saya. Bukan pengalaman yang begitu sering kita temui, sebab hanya lima tahun sekali.

Hari ini saya memperpanjang SIM A dan C saya di unit mobil layanan SIM keliling, yang manteng di parkiran Kebun Binatang Ragunan.

Saya datang sekitar pukul setengah sembilan pagi, dan kemudian mendapat nomor antrian 116, dari total yang dilayani hari itu sebanyak 136. Jadi, saya jelas punya banyak waktu untuk terus dengan tekun menatap dan memantau benda besar berwarna putih, merah, dan biru itu.

Berikut ini adalah beberapa kesan yang bisa saya sharing.

Sebelum saya menyambangi unit SIM keliling ini, saya sempat bertanya kepada beberapa orang teman, "berapa lama sih mengurus perpanjangan SIM?"

Rata-rata mereka menjawab sekitar 10 sampai 15 menitan. Saya senang sekali, waktu saya tidak akan banyak terbuang hari ini untuk bisa melakukan berbagai hal yang lebih egois.

Ternyata, itu tidak sepenuhnya benar. Dalam kasus saya hari ini, memang 10-15 menit itu berlaku sejak kita memasuki pintu mobil dan berfoto ria. Tapi kenyataannya, untuk bisa masuk ke pintu itu, saya tetap harus mengantri hampir seharian. Jadi tentang lamanya waktu ini, bisa dibilang sebentar, bisa juga dibilang sehari. Untuk kasus saya yang dapat nomor urut 116, jelas lama.

Kepada beberapa orang yang sudah lebih dahulu datang, saya sempat bertanya jam berapakah mereka mulai menongkrongi mobil itu. Mereka menjawab, "abis subuh!". Wataaaaww....!!! Mereka sudah nangkring di situ sebelum si mobil itu sendiri nongol.

Saat saya menerima nomor urut, saya sempat bertanya kepada petugas, "kira-kira saya giliran jam berapa pak?" Dia menjawab, "oh kalo bapak mah pasti terakhir. Bapak boleh pergi dulu, nanti sore baru kembali lagi."

Saya mulai berpikir, harus ngapain saya ya? Sedikit banyak saya merasa beruntung memilih unit yang di Ragunan ini. Beberapa orang di sekitar saya mulai kasak-kusuk untuk melewatkan waktu dengan beranjangsana kepada beberapa ekor gorilla atau komodo dan saudara-saudaranya di dalam sana.

Saya sempat tertarik juga dengan ide itu. Tapi bujug buneng, di hari kerja dan memasuki tahun baru seperti ini, saya tak habis pikir mengapa kondisi kebun binatang ini kok masih seperti hari libur besar.

Seorang tukang gado-gado, yang membuatkan pesanan saya (saya nggak tau apakah dia sedang marah atau bad mood, atau hanya karena kebiasaan saja - gado-gadonya pedas sekali), mengatakan bahwa libur sekolah masih panjang, dan rata-rata pengunjung itu berasal dari luar Jakarta.

Dari dalam atau dari luar Jakarta, yang jelas saya nggak terlalu suka kondisi yang hiruk pikuknya lebay seperti ini. Saya sendiri kebetulan pernah tinggal di dekat Ragunan sini, di jalan Haji Niih tepatnya. Saya lebih senang berwisata di hari-hari sepi pengunjung.

Dari entah berapa kali kunjungan ke kebun binatang ini, ada satu fenomena yang sampai sekarang terus membuat saya penasaran.

Di dalam kebun binatang ini, ada sederet kios cendera mata khas KB Ragunan. Anehnya, seperti juga yang sudah saya amati beberapa tahun belakangan, di bagian luar dan di parkiran yang notabene nggak beda crowdednya dengan para penghuni kandang di dalam sana, malah tidak terlihat ada sesuatu pihak yang menawarkan cendera mata khas Ragunan.

Apa belum ada yang kepikiran? Misalnya membuat t-shirt khas KB Ragunan dengan foto-foto binatang? Atau malah lebih menarik dengan tulisan di dada atau di punggungnya:

"Saya monyet, kamu siapa?"
"Saya komodo, kandang saya di sebelah beruang madu."
"Sampai jumpa lagi di habitat asli."
"Welcome home!" - dengan sablonan gajah di dada...

Padahal, pengunjung KB ini terbilang beragam dengan variasi daya beli yang memungkinkan menjadi pasar bagus untuk produk cendera mata. Tapi sudahlah, biar yang mau garap saja yang mikirin.

Kita kembali ke soal SIM.

Setelah saya memutuskan untuk tetap memantau dan menatap benda besar itu, saya mulai memperhatikan sekitar.

Salah satu pertanyaan yang paling sering saya dengar di antara para pengantri adalah, "Bapak nomor berapa?"

Baru sejam saya di sini, HP saya tiba-tiba mati, memang sudah dari rumah low batt. Nggak bisa update status berarti. Notebook pun tidak saya bawa. Saya perlu sesuatu untuk mengisi waktu, kalo saya nggak mau jadi suntuk dan ngantuk.

Alhamdulillah, belajar ilmu komunikasi memang banyak gunanya. Dengan segera saya mendapatkan sahabat-sahabat baru yang menyenangkan.

Salah satunya adalah seorang supir truk. Saya bertanya padanya, "bapak nomor berapa?" Dia menjawab, "136". Saya terbahak, hua...ha...ha... sebab itu adalah nomor terakhir untuk hari ini.

Ada juga sahabat baru saya, seorang pekerja kontraktor, yang dengan cerianya menceritakan betapa baiknya sang bos, yang membolehkan biaya perpanjangan SIM-nya di reimburse ke kantor.

Ada lagi beberapa orang tua dan ibu-ibu serta remaja yang bergabung dalam kelompok kecil kami di bawah rindangnya pepohonan KB Ragunan.

Saya membuktikan hari ini, bahwa ilmu komunikasi memang luar biasa. Hanya dalam beberapa menit, saya memiliki sahabat yang seolah sudah bertahun-tahun saling mengenal. Kami tertawa bersama, bercanda, bertukar pikiran, dan bahkan saling curhat. Benar-benar luar biasa. Di antara kami, benar-benar tak ada pembatas. Saling goda, cekakak-cekikik seperti sesama saudara.

Alhamdulillah, setidaknya itu semua bisa menciptakan "time distortion" yang menyenangkan. Saya bisa membayangkan jika saya menyendiri di salah satu sudut. Bleeehhh.... bisa jutek saya.

Di sela-sela itu semua, suara petugas lewat speaker, juga menceriakan suasana.

Saya tidak tahu pasti, apakah sejak "disipilkan" aparat kepolisian memang sudah "menyipilkan" dirinya sehingga menjadi lebih dekat dengan warga, atau memang mereka telah belajar banyak untuk tidak menciptakan stressnya sendiri.

Tak ada bentakan, seperti yang sering saya alami bertahun-tahun lalu. Tak ada kata-kata keras yang memojokkan. Tak ada arogansi, yang membuat kita begitu gerah melihat seragam aparat.

Yang ada adalah suasana yang cukup santai dan rileks. Dan saya tahu pasti, itu semua tidak lepas dari upaya pihak aparat sendiri yang menciptakannya. Saya merasa bahwa aparat unit keliling ini, sepertinya sudah cukup menguasai ilmu komunikasi terkait dengan service excellence dan persuasi.

Beberapa di antaranya adalah yang berikut ini.

Petugas loket bertanya kepada seorang pengantri, "pak, bapak tau apa artinya P4?" Yang ditanya tidak bisa menjawab. Petugas itu kemudian meneruskan, "buat kami P4 itu adalah pantat panas pinggang pegal." Para pengantri tertawa riuh.

Petugas itu sebenarnya sedang mengatakan, "hargai kami, kami bekerja keras", dengan cara yang elegan.

Ada lagi. Suatu ketika, petugas itu bertanya lagi kepada pengantri lain di depan loket, "pak apa beda STNK dengan ibu-ibu?" Petugas itu kemudian melanjutkan, "Kalo STNK, sebelum empat puluh hari baru boleh diperpanjang. Kalo ibu-ibu..." dia tidak menyelesaikan kalimatnya. Para pengantri tertawa berderai lagi.

Petugas itu mengatakannya dalam rangka menolak perpanjangan STNK yang masih terlalu dini. Manis banget caranya. He...he...he...

Kepada seorang pengantri pria, petugas bertanya, "yang namanya Rika siapa?" Dijawab oleh si pengantri, "kakak saya." Kemudian petugas itu bertanya lagi, "nama rika siapa?" Yang ditanya bengong. Petugas mengulangi pertanyaannya lagi, "nama rika siapa?" Kemudian, petugas itu berkata, "Kalo di Purwokerto pak, rika itu artinya kamu".

Kali ini, petugas itu sedang melakukan "rapport - localization".

Demikian cairnya suasana formal ini. Menurut saya luar biasa. Sepertinya reformasi di negeri ini mulai membuahkan hasil. Paling tidak dari segi penurunan arogansi dan keangkeran aparat yang di zaman dulu benar-benar menakutkan.

Sampai-sampai, para pengantri mulai tak ragu lagi untuk bertanya.

Salah seorang pengantri bertanya kepada petugas, "pak, kalo SIM boleh nggak diwakilkan?" Petugas itu menjawab, "boleh pak. Tapi fotonya yang di kandang sana." Kerumunan pengantri riuh rendah lagi.

Rapport building lagi.

Semua bentuk kecairan hubungan yang begitu santai dan ceria itu, terjadi bersamaan dengan berlangsungnya berbagai proses formal dan administratif. Segala bentuk proses kerja tetap berlangsung dengan lancar dan tepat waktu. Luar biasa ini.

Ini yang terakhir.

Saya tidak tahu apakah memang aparat kita di unit keliling ini sudah begitu berubah, menjadi lebih menyenangkan karena sudah belajar banyak, atau hanya karena diminta oleh atasan. Apa yang pasti, mereka sudah semakin sakti dalam berkomunikasi.

Kalimat seorang petugas berikut ini, adalah sebentuk persuasi berskill tinggi. Sebuah teknik persuasi yang memang terasa sekali di dunia nyata, di mana berbagai hubungan harus ditengahi oleh keterbatasan keadaan, yaitu membludaknya antrian dan cuaca panas.

Petugas itu berkata, "bapak dan ibu sekalian, terimakasih untuk kesabarannya SATU HARI INI. Kesabaran bapak dan ibu, akan membuat bapak dan ibu lebih tenteram selama LIMA TAHUN KE DEPAN."

Luar biasa! Dahsyat!

Kalimat itu adalah sebuah implementasi teknik persuasi tingkat advance, sebagaimana yang sering disitir oleh Robert Cialdini, Kevin Hogan, Kurt Mortensen, dan Dave Lakhani! Teknik ini disebut dengan "the power of contrast".

Di situasi yang demikian panas hari ini, dengan antrian yang membludak, dan bercampur baur dengan keriuhan pengunjung kebun binatang, kalimat yang mengkontraskan dua hal di atas jelas-jelas mampu mendinginkan hati dan kepala para pengantri. Luar biasa.

Saya berharap, semoga bukan hanya hari ini, dan bukan hanya di unit ini. Saya berharap fenomena service excellence dan positive persuasion seperti ini merata di berbagai tempat dan instansi.

Bravo untuk aparat!

Satu lagi, di salah satu sisi bus keliling ini, tercantum tulisan,

"Kami memang belum sempurna. Tapi kami selalu berusaha."

Wow. Hidup Indonesia!

Ikhwan Sopa.
Master Trainer E.D.A.N.
http://www.motivasi-komunikasi-leadership.co.cc
http://www.facebook.com/pages/Motivasi-Komunikasi-Leadership/196571006305
http://www.twitter.com/ikhwansopa

Tidak ada komentar:

Posting Komentar